Jumat, 26 Februari 2010

Penalaran Deduktif

Logika Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan teknologi

_____________________________________
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan
melalui penalaran tersebut mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara
dan prsedur tertentu. Penarikan kesimpulan dari proses berpikir dianggap valid bila proses berpikir tersebut dilakukan
menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan seperti ini disebut sebagai logika. Logika dapat didiefinisikan
secara luas sebagai pengkajian untuk berpikir secara valid. Dalam penalaran ilmiah, sebagai proses untuk mencapai
kebenaran ilmiah dikenal dua jenis cara penarikan kesimpulan yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif
berkaitan erat dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata yang sifatnya khusus dan telah diakui
kebenarannya secara ilmiah menjadi sebuah kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif adalah
penarikan kesimpulan yang diperoleh dari kasus yang sifatnya umum menjadi sebuah kesmpulan yang ruang lingkupnya
lebih bersifat individual atau khusus.
Induksi merupkan cara berpikir dengan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataaann-pernyataan yang ruang lingkupnya khas
dan terbatas dalam menysusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Misalkan kita
mempunyai fakta bahwa katak makan untuk mempertahankan hidupnya, ikan , sapi, dan kambing juga makan untuk
mempertahankan hidupnya, maka dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa semua hewan makan untuk
mempertahankan hidupnya. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena mempunyai dua keuntungan.
Keuntungan yang pertama adalah pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis, maskudnya melalui reduksi
terhadap berbagai corak dan sekumpulan fakta yang ada dalam kehidupan yang beraneka ragam ini dapat dipersingkat
dan diungkapkan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah sekedar koleksi dari
berbagai fakta melainkan esensi dan juga fakta-fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang
dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari objek tertentu melainkan menekankan kepada
strukstur dasar yang menyangga wujud fakta. Sebagai contoh, bagaimanapun lengkapnya dan cermatnya sebuah
pernyataan dibuat untuk mengungkapkan betapa nikmatnya hubungan intim dirasakan seorang wanita atas keinginan
suka sama suka dan perihnya hubungan intim karena pemerkosaan, tidak mungkin dapat merreproduksikan hal itu.
Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa hubungan intim atas dorongan
suka sama suka indah, nikmat, dan hubungan intim karena pemerkosaan sangatlah menyakitkan. Pernyataan seperti ini
sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoritis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik
secara induktif maupun deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan
pernyataan yang bersifat lebih umum lagi. Misalkan dari contoh sebelumnya bahwa kesimpulan semua hewan perlu
makan untuk mempertahankan hidupnya, kemudian dari kenyataan bahwa manusia juga perlu makan untuk
mempertahankan hidupnya, maka dapat dibuat lagi kesmpulan bahwa semua mahluk hidup perlu makan untuk
mempertahankan hidupnya. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang
mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang main lama makin bersifat fundamental.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir di
mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikkan kesimpulan secara
deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua buah
pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogisme ini disebut sebagai premis yang kemudian
dibedakan menjadi premsi mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran
deduktif berdasarkan kedua premis tersbut. Dari contoh sebelumnya misalkan kita menyusun silogisme sebagai berikut.
Semua mahluk hidup perlu makan untuk mempertahanka hidupnya (Premis mayor)
Joko adalah seorang mahluk hidup (Premis minor)
Jadi, Joko perlu makan untuk mempertahakan hidupnya (Kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa Joko juga perlu makan untuk mempertahankan hidupnya adalah sah menurut
penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah
kesimpulan ini benar harus dikembalikan kepada kebenaran premis-premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis
yang mendukungnya benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja
kesimpulannya itu salah, meskipun kedua kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikkan kesimpulannya tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarkkan kesimpulan tergantung dari tiga hal yaitu kebenaran premis mayor,
kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Apabila salah satu dari ketiga unsur itu persyaratannya
tidak terpenuhi dapat dipastikan kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun
secara deduktif.
Logika merupakan salah satu dasar atau landasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Melalui kedua metode
penalaran yang dikembangkan dalam metode ilmiah tersebut ilmu pengetahuan berkembang hingga sekarang ini. Faktafakta
ilmiah yang telah terkumpul dijadikan landasan dan acuan guna mengembangkan pengetahuan baru berdasarkan
fakta-fakta ilmiah sebelumnya. Hal ini begitu penting dan menjadi perhatian bahwa dalam menyusun sebuah karya ilmiah
fakta ilmiah yang dijadikan landasan merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan. Dalam membuat hipotesis mengenai
sesuatu yang kita kaji landasan fakta ilmiah memberikan arah yang memudahkan kita dalam mencapainya. Sedangkan
kebenaran hipotesis yang kita buat dibuktikan menurut fakta empiris yang kita peroleh. Ilmu pengetahuan sulit
berkembang tanpa landasan fakta ilmiah, sebagaimana yang terjadi di abad pertengahan yang di sebut sebagai The
Dark Age karena berbagai hal terutama masalah rasial dan sikap tertutup terhadap fakta ilmiah.
============================================================================

Daftar Pustaka

Dipublikasikan oleh Reni Maria
Diambil Dari : http://sman11mks.com/index.php

Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi


Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi


Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi
Oleh Masnur Muslich*

Sejarah mencatat bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau, salah satu bahasa daerah yang berada di wilayah Sumatera. Bahasa Melayu-Riau inilah yang diangkat oleh para pemuda pada "Konggres Pemoeda", 28 Oktober 1928, di Solo, menjadi bahasa Indonesia. Pengangkatan dan penamaan bahasaMelayu-Riau menjadi bahasa Indonesia oleh para pemuda pada saat itu lebih "bersifat politis" daripada "bersifat linguistis". Tujuannya ialah ingin mempersatukan para pemuda Indonesia, alih-alih disebut bangsa Indonesia. Ketika itu, yang mengikuti "Kongres Pemoeda" adalah wakil-wakil pemuda Indonesia dari Jong Jawa, Jong Sunda, Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong Selebes. Jadi, secara linguistis, yang dinamakan bahasa Indonesia saat itu sebenarnya adalah bahasaMelayu. Ciri-ciri kebahasaannya tidak brbeda dengan bahasa Melayu. Namun, untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, parapemuda Indonesia pada saat itu "secara politis" menyebutkan bahasa Melayu-iau menjadi bahasa Indonesia. Nama bahasa Indonesialah yang dianggap bisa memancarkan inspirasi dan semangat nasionalisme, bukan nama bahasa Melayu yang berbau kedaerahan.

Ikrar yang dikenal dengan nama "Soempah Pemoeda" ini butir ketiga berbunyi "Kami poetera-poeteri Indonesia, mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia" (Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia). Ikrar yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia ini juga memperlihatkan betapa pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif, mutlak diperlukan setiap bangsa. Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat berkembang, bangsa tidak mungkin dpat menggambarkan dan menunjukkan dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa itu akhirnya akan lenyap ditelan masa. Jadi, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Bahasa, sebagai bagian kebudayaan dapat menunjukkan tinggi rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai suatu bangsa. Ikarar berupa "Soempah Pemoeda" inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi kedududkan dan fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Bahkan, pada perjalanan selanjutnya, bahasa Indonesia tidak lagi sebagai bahasa persatuan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa negara, bahasa resmi, dan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Setelah hampir dasa windu menjadi bahasa persatuan, bahasa Indonesia memperlihatkan ciri-cirinya sebagai alat komunikasi yang mutlak diperlukan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri sebagai bahasa yang tahan uji. Bahasa Indonesia telah menunjukkan identitas bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia sangat berperan dalam mempersatukan belbagai suku bangsa yang beraneka adat dan budayanya. Dalam mengemban misinya, bahasa Indonesia terus berkembang seiring dengan keperluan dan perkembangan bangsa Indonesia, walaupun ada perkembangan yang menggembirakan dan ada perkembangan yang menyedihkan dan membahayakan, Dualisme perkembangan ini memang merupakan dinamika dan konsekuensi bahasa yang hidup Tetapi, karena bahasa Indonesia sudah ditahkikkan sebagai bahasa yang berkedudukan tinggi oleh bangsa Indonesia, ia harus dipupuk dan disemaikan dengan baik dan penuh tanggung jawab agar ia bisa benar-benar menjadi "cermin" bangsa Indonesia.

Sebelum Perang Dunia Kedua, bahasa Indonesia tidak dihargai dengan sepantasnya walaupun dunia pergerakan politik sedmakin banyak memakai bahasa Indonesia. Dunia ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan belum lagi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Kalau ingin memperbaiki nasib, bukan bahasa Indonesia yang digunakan,melainkan bahasa Belanda sebagai bahasa kaum penjajah. Bahasa pengantar untuk ilmu pengetahuan adalah bahasa Belanda. Apabila sesorang ingin dihormati dan disegani dalam pergaulan, ia harus bisa menguasai bahasa Belanda dengan baik. Bahasa Belanda benar-benar bisa menentukan status pemakainya. Akibatnya, pemakai bahasa Indonesia merasa apatis atau masa bodoh melihat kekangan-kekangan yang hebat terhadap bahasa Indonesia ketika itu. Seolah-olah bahasa Indonesia tidak akan mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Kaum penajajh ketika itu memang menginginkan seperti itu sehingga pemakai bahasa Indonesia merasa diri tidak berguna mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia. Orang Indonesia ketika itu merasa lebih terpelajar dan terhormat aoabila menguasai bahasa Belanda dengan baik. Orang Indonesia tidak merasa malu apabila tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, tetapu akan merasa ada yang kurang apabila tidk menguasai bahasa Belanda dengan baik. Akibatnya, tidak banyak orang Indonesia yang mau mempelajari bahasa Indonesia dengan serius dan cukup menguasai bahasa Indonesia ala kadarnya untuk komunikasi umum. Akhirnya, banyak pula otang Indonesia yang tidak mahir berbahasa Indonesia , tetapi menguasai dan sangat mahor berbahasa Belanda.

Pada zaman pendudukan Jepang, bahasa Belanda dilarang pemakaiannya dan harus digani dengan bahasa Indonesia. Ketika itu, sebagian orang masih meragukan kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk kaum cendekiawannya. Tetapi, karena dipaksa oleh pemerintah pendudukan Jepang dan didorong oleh pemuda-pemuda Indonesia, orang-orang Indonesia terpanksa menggunakan bahasa Indonesia untuk setiap ranah pembicaraan. Bahasa Indonesia mulai populer dan mulai diperhatikan para pemakainya dengan baik. Sesudah itu terbuktilah bahwa bahasa Indonesia tidak kurang mutunya dibanding dengan bahasa-bahasa asing lainnya. Bahasa Indonesia pun mulai mengalami perkembangan sesuai dengan kodratnya sebagai bahasa yang hidup. Bahasa Indonesia terus dipakai pemiliknyadengaqn teratur dan lebih luas.

Sesudah Indonesia merdeka, bahasa Indonensia lebih berkembang lagi dengan baik dan meluas. Bangsa Indonesia sudah merasakan betapa perlunya membina dan memperhatikan perkembangan bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia mulai sadar bahwa tanpa bahasa Indonesia, bangsa Indonesia tidak akan memperoleh kemajuan. Minat bangsa Indonesia untuk mau mempelajari bahasa Indonesia dengan baik setiap tahun terus bertambah. Akibatnya, bahasa Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Setelah perkembangan bahasa Indonensia itu sedemikian pesatnya, sekarang timbullah serangkaian pertanyaan:

- Apakah setiap bangsa Indonesia sudah bangga berbahasa Indonesia sebagai bahasa nasional?

- Apakah setiap bangsa Indonesia sudah mencintai dan menghormati bahasa Indonesia?

- Adakah rasa kebanggan itu timbul dari hati nurani setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia?

- Apabila setiap bangsa Indonesia sudah mencintai, menghormati, dan bangga berbahasa Indonesia, apakah mereka sudah membina bahasa Indonesia dengan baik?

- Adakah pemakai bahasa Indonesia itu sudah memathui kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar?

- Apakah setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia itu sudah mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar?

Jawaban untuk semua pertanyaan ini tentulah ada di dada masing-masing orang yang menganggap, mengaku, dan menjadikan dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Jati Diri Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah okok tertentu yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah0kaidah pokok ini pulalah dapat dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa asing ataupun bahasa daerah. Oleh karena itu, ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok tersebut merupakan jati diri bahasa Indonesia. Ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok yang dimaksud adalah antara lain sebagai berikut.

a. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis kelamin. Kalau kita ingin menyatakan jenis kelamin, cukup diberikan kata ketarngan penunjuk jenis kelamin, misalnya:
- Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita.
- Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina.

Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta) untuk menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.
Contoh:
Bahasa Inggris : lion - lioness, host - hostess, steward -stewardness.
Bahasa Arab : muslimi - muslimat, mukminin - mukminat, hadirin - hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa - siswi, putera - puteri, dewa - dewi. .

Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah beberapa kata yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan perubahan bentuk dalam bahasa Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta pun dilakukan secara leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian, dalam bahasa Arab, selain kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain mukmin, diserap juga kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna 'datang', bukan 'orang yang datang'), diserap juga kata hadirin dan hadirat. Dalam bahasa Sanskerta, selain dewa, diserap juga dewi; selain siswa diserap juga siswi. Karena sistem perubahan bentuk dari kedua bahasa tersebut tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, maka tidaklah mungkin kita menyatakan kuda betina dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk kata dombi atau dombarat. Untuk menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia, cukup dengan penambahan jantan atau betina, yaitu kuda jantan, kuda betina, domba jantan, domba betina. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku dalam bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga bahasa Inggris tidan bisa diterapkan ke dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu struktur bahasa Indonesia akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu.

b. Bahasa Indonesia mempergunakan kata tertentu untuk menunjukkan jamak. Artinya, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jamak. Sistem ini pulalah yang membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa sing lainnya, misalnya bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain. Untuk menyatakan jamak, antara lain, mempergunakan kata segala, seluruh, para, semua, sebagian, beberapa, dan kata bilangan dua, tiga, empat, dan seterusnya; misalnya: segala urusan, seluruh tenaga, para siswa, semua persoalan, sebagian pendapat, beberapa anggota, dua teman, tiga pohon, empat mobil.

Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men ketika menyatakan jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk bukus (jamak dari kata buku), mahasiswas (jamak dari mahasiswa), dan penas (jamak dari pena), misalnya, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia karena memang bukan kaidah bahasa Indonesia.

c. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan waktu. Kaidah pokok inilah yang juga membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa asing lainnya. Dalam bahasa Inggris,misalnya, kita temukan bentuk kata eat (untuk menyatakan sekarang), eating (untuk menyatakan sedang), dan eaten (untuk menyatakan waktu lampau). Bentukan kata seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Bentuk kata makan tidak pernah mengalamai perubahan bentuk yang terkait dengan waktu, misalnya menjadi makaning (untuk menyatakan waktu sedang) atau makaned (untuk menyatakan waktu lampau). Untuk menyatakan waktu, cukup ditambah kata-kaa aspek akan, sedang, telah, sudah atau kata keterangan waktu kemarin, seminggu yang lalu, hari ini, tahun ini, besok, besok lusa, bulan depan, dan sebagainya.

d. Susunan kelompok kata dalam bahasa Indonesia biasanya mempergunakan hukum D-M (hukum Diterangkan - Menerangkan), yaitu kata yang diterangkan (D) di muka yang menerangkan (M). Kelompok kata rumah sakit, jam tangan, mobil mewah, baju renang, kamar rias merupakan contoh hukum D-M ini. Oleh karena itu, setiap kelompok kata yang diserap dari bahasa asing harus disesuaikan dengan kaidah ini. Dengan demikian, bentuk-bentuk Garuda Hotel, Bali Plaza, International Tailor, Marah Halim Cup, Jakarta Shopping Center yang tidak sesuai dengan hukum D-M harus disesuaikan menjadi Hotel Garuda, Plaza Bali, Penjahit Internasional, Piala Marah Halim, dan Pusat Perbelanjaan Jakarta. Saya yakin, penyesuaian nama ini tidak akan menurunkan prestise atau derajat perusahaan atau kegiatan tersebut. Sebaliknya, hal inilah yang disebut dengan penggunaan bahasa Indonesia yang taat asas, baik dan benar.

e. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku, yaitu lafal yang tidak dipengaruhi oleh lafal asing dan/atau lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa Indonesia lisan dan lewat lafalnya dapat diduga atau dapat diketahui dari suku mana ia berasal,maka lafal orang itu bukanlah lafal bahasa Indonesia baku. Dengan kata lain, kata-kata bahasa Indonesia harus bebas dari pengaruh lafal asig dan/atau lafal daerah. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar pemakai bahasa Indonesia adalah sampai saat ini belum disusun kamus lafal bahasa Indonesia yang lengkap. Akibatnya, sampai sekarang belum adapatokan yang jelas untuk pelafalan kata peka, teras, perang, sistem, elang. Tetapi, pengucapan semangkin (untuk semakin), mengharapken (untuk mengharapkan), semua (untuk semua), mengapa (untuk mengapa), thenthu (untuk tentu), therima kaseh (untuk terima kasih), mBandung (untuki Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal baku bahasa Indonesia.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja.

Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak "Soempah Pemoeda", 28 Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik. Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.

Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.

Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulau dikenal sejak 17 Agustus 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.

Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.

Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan - atasan, mahasiswa - dosen, kepala dinas - bupati atau walikota, kepala desa - camat, dan sebagainya.

Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan.

Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa - skripsi, tesis, disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek.

Sikap Pemakai Bahasa Indonesia yang Negatif

Bangsa Indonesia, sebagai pemakai bahasa Indonesia, seharusnya bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai alay komunikasi. Dengan bahasa Indonesia, mereka bisa menyampaikan perasaan dan pikirannya dengan sempurna dan lengkap kepada orang lain. Mereka semestinya bangga memiliki bahasa yang demikian itu. Namun, berbagai kenyataan yang terjadi, tidaklah demikian. Rasa bangga berbahasa Indonesia belum lagi tertanam pada setiap orang Indonesia. Rasa menghargai bahasa asing (dahulu bahasa Belanda, sekarang bahasa Inggris) masih terus menampak pada sebagian besar bangsa Indonesia. Mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Bahkan, mereka seolah tidak mau tahu perkembangan bahasa Indonesia.

Fenomena negatif yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain sebagai berikut.

a. Banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan bangga kemahirannya menggunakan bahasa Inggris, walaupun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

b. Banyak orang Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris) tetapi tidak pernah merasa malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.

c. Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik. d. Banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing (Inggris) dengan fasih, walaupun penguasaan bahasa Indonesianya kurang sempurna.

Kenyataan-kenyataan tersebut merupakan sikap pemakai bahasa Indonesia yang negatif dan tidak baik. Hal itu akan berdampak negatif pula pada perkembangan bahasa Indonesia. Sebagian pemakai bahasa Indonesia menjadi pesimis, menganggap rendah, dan tidak percaya kemampuan bahasa Indonesia dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan lengkap, jelas, dan sempurna. Akibat lanjut yang timbul dari kenyataan-kenyataan tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan asing, padahal kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia. Misalnya, page, background, reality, alternatif, airport, masing-masing untuk "halaman", "latar belakang", "kenyataan", "(kemungkinan) pilihan", dan "lapangan terbang" atau "bandara".

b. Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata dan istilah asing yang "amat asing", "terlalu asing", atau "hiper asing". Hal ini terjadi karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut,misalnya rokh, insyaf, fihak, fatsal, syarat (muatan), (dianggap) syah. Padahal, kata-kata itu cukup diucapkan dan ditulis roh, insaf, pihak, pasal, sarat (muatan), dan (dianggap) sah.

c. Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai bermacam-mecam kamus bahasa asing tetapi tidakmempunyai satu pun kamus bahasa Indonesia. Seolah-olah seluruh kosakata bahasa Indonesia telah dikuasainya dengan baik. Akibatnya,kalau mereka kesulitan menjelaskan atau menerapkan kata-kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia, mereka akan mencari jalan pintas dengan cara sederhana dan mudah. Misalnya, pengggunaan kata yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas.

Kenyataan-kenyataan dan akibat-akibat tersebut kalau tidak diperbaiki akan berakibat perkembangan bahasa Indonesia terhambat. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, sepantasnyalah bahasa Indonesia itu dicintai dan dijag. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan dengan baik karena bahasa Indonesia itu meruoakan salah satu identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Setiap orang Indonesia patutlah bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, janganlah menganggap remeh dan bersikap negatif. Setiap orang Indonesia mestilah berusaha agar selalu cermat dan teratur menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, mestilah dikembangkan budaya malu apabila meraka tidak memperguanakn bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang dipenuhi oleh kata, istilah, dan ungkapan asing merupakan bahasa Indonesia yang "canggih" adalah anggapan yang keliru. Begitu juga, penggunaan kalimat yang berpanjang-panjang dan berbelit-belit, sudah tentu memperlihatkan kekacauan cara berpikir orang yang menggunakan kalimat itu. Apabila seseorang menggunakan bahasa dengan kacau-balau, sudah tentu hal itu menggambarkan jalan pikiran yang kacau-balau pula. Sebaliknya, apabila seseorang menggunakan bahasa dengan teratur, jelas, dan bersistem, cara berpikir orang itu teratur dan jelas pula. Oleh sebab itu, sudah seharusnyalah setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang teratur, jelas, bersistem, dan benar agar jalan pikiran orang Indonesia (sebagai pemilik bahasa Indonesia) juga teratur dan mudah dipahami orang lain.

Jati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi

Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yan berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Seiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan bahasa Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia. Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa Indonesia lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia terungkap melalui kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran purisme) dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa asing lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini.

Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia "asal orang mengerti". Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa Indonesia mengenal ungkapan "Bahasa menunjukkan bangsa", yang membaw pengertian bahwa bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain.

Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia. Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, kesederhaan dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini menjadi bahan pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepanh, Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan.

Penutup

Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Usaha-usaha ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan persaingan di segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah besar dan bertambah mendalam. Sudah barang tentu, ini semuanya merupakan harapan bersama, harapan setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia.

Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia merupakan ciri bangsa Indonesia yang perlu terus dipertahankan. Pergaulan antarbangsa memerlukan alat komunikasi yang sederhana, mudah dipahami, dan mampu menyampaikan pikiran yang lengkap. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus bterus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia dalam pergalan antarbangsa pada era globalisasi ini. Apabila kebanggaan berbahasa Indonesia dengan jati diri yang ada tidak tertanam di sanubari setiap bangsa Indonesia, bahasa Indonesia akan mati dan ditinggalkan pemakainya karena adanya kekacauan dalam pengungkapan pikiran. Akibatnya bangsa Indonesia akan kehilangan salah satu jati dirinya. Kalau sudah demikian, bangsa Indonesia "akan ditelan" oleh bangsa lain yang selalu melaksanakan tugas dan pekerjaannya dengan menggunakan bahasa yang teratur dan berdisiplin tinggi. Sudah barang tentu, hal seperti harus dapat dihindarkan pada era globalisasi ini. Apalagi, keadaan seperti ini bukan merupakan keinginan bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Christin, Donna. 1988, "Language planning the view from linguistics" dalam Newmeyer, F. J. Ed. Linguistics the Cambridge Survey. Cambridge University Press (193-109).

Crystal, David. 1997. The Cambridge Encyclopedia of Language. Second edition.

Fasold, Ralp. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.

__________. 1990 The Sociolinguistic of Language. Cambridge: Basil Blackwell.

Fishman, Joshua, A. 1975. Sociolinguistics. Rowbury House Publ.

Ejaan Yang Disempurnakan

Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD dalam Bahasa Indonesia

PEDOMAN UMUM EJAAN
BAHASA INDONESIA
YANG DISEMPURNAKAN

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia,
Nomor 0543a/U/1987,
tanggal 9 September 1987



Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia

I. PEMAKAIAN HURUF

I. PEMAKAIAN HURUF



A. Huruf Abjad

Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas huruf yang berikut. Nama tiap huruf disertakan di sebelahnya.

Huruf
A a
B b
C c
D d
E e
F f
G g
H h
I i
J j
K k
L l
M m
N n
O o
P p
Q q
R r
S s
T t
U u
V v
W w
X x
Y y
Z z




B. Huruf Vokal

Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, e, i, o, dan u.


C. Huruf Konsonan

Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf-huruf b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.


D. Huruf Diftong

Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi.


E. Gabungan Huruf Konsonan

Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan, yaitu kh, ng, ny, dan sy.





F. Pemenggalan Kata

1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
a. Jika di tengah kata ada vokal yang berurutan, pemenggalan itu dilakukan di antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya: ma-in, sa-at, bu-ah

b. Jika di tengah kata ada huruf konsonan, termasuk gabungan huruf konsonan, di antara dua buah huruf vokl, pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan.
Misalnya: ba-pak, ba-rang, ke-nyang

c. Jika di tengah kata ada huruf konsonan yang berurutan, pemenggalan dilakukan di antara kedua hufur konsonan itu. Gabungan huruf konsonan tidak pernah diceraikan.
Misalnya: man-di, som-bong

d. Jika di tengah kata ada tiga buah huruf konsonan atau lebih, pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan yang pertama dan huruf konsonan yang kedua.
Misalnya: in-strumen, in-fra


2. Imbuhan akhiran dan imbuhan awalan, termasuk awalan yang mengalami perubahan bentuk serta partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya, dapat dipenggal pada pergantian baris.

II. PEMAKAIAN HURUF KAPITAL DAN HURUF MIRING

II. PEMAKAIAN HURUF KAPITAL DAN HURUF MIRING

A. Huruf Kapital atau Huruf Besar
1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.
2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung
3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
7. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.
9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
10. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan.
11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.

B. Huruf Miring
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.
2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk mengaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya.

III. PENULISAN KATA

III. PENULISAN KATA

A. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya: ibu, percaya, kantor

B. Kata Turunan
1. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasarnya. Misalnya: dikelola, bergeletar, penetapan
2. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya. Misalnya: bertepuk tangan, garis bawahi
3. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai. Mislanya: menggarisbawahi, penghacurleburan
4. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai. Misalnya: adipati, mahasiswa, mancanegara

C. Bentuk Ulang
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung. Misalnya: anak-anak, gerak-gerik

D. Gabungan Kata
1. Gabungan kata yang lazin disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah. Misalnya: duta besar, orang tua, kambing hitam
2. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian, dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan. Misalnya: alat pandang-dengar
3. Gabungan kata berikut ditulis serangkai. Misalnya: acapkali, matahari, manasuka

E. Kata Ganti –ku, kau-, -mu, dan –nya
Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; -ku, -mu, dan –nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Misalnya: kumiliki, kauambil, bukuku, rumahmu, bajunya

F. Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada. Misalnya: di lemari ke pasar, dari Banjarmasin

G. Kata si dan sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya: sang Kancil, si pengirim

H. Partikel
1. Paratikel –lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Misalnya: Bacalah buku itu baik-baik.
2. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya. Misalnya: Apa pun yang dimakannya, ia tetap kurus.
3. Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘demi’, dan ‘tiap’ ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya. Misalnya: …per 1 April.

I. Singkatan dan Akronim
1. Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih.
a. Singkatan nama orang orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik. Misalnya:A.S. Kramawijaya
b. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik. Misanya: DPR
c. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik. Misalnya: dll.
d. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik. Misalnya: Cu, TNT, Rp

2. Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
a. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Misalnya: ABRI, LAN, IKIP
b. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital Misalnya: Akabri, Bappenas
c. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Misalnya: pemilu, radar, rapim

J. Angka dan Lambang Bilangan
1. Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi. Angka Arab: 0, 1, 2 Angka Romawi: I, II
2. Angka digunakan untuk menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas. Misalnya: 0,5 sentimeter, 100 yen
3. Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat. Misalnya: Jalan Tanah Abang I No. 15
4. Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci. Misalnya: Bab X, Pasal 5, halaman 252
5. Penulisan lambang bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
a. Bilangan utuh. Misalnya: dua puluh dua, dua ratus dua puluh dua
b. Bilangan pecahan. Misalnya: seperenam belas, tiga dua pertiga
6. Penulisan lambang bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara yang berikut. Misalnya: Paku Buwono X, Bab II, Tingkat V, Abad ke-20
7. Penulisan lambang bilangan yang mendapat akhiran –an mengikuti cara yang berikut. Misalnya: tahun ’50-an, uang 5000-an
8. Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf kecuali jika beberapa lambang bilagan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan. Misalnya: Amir menonton drama itu sampai tiga kali.
9. Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, sesunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat. Misalnya: Pak Darmo mengundang 250 orang tamu.
10. Angka yang menunjukkan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca. Misalnya: Perusahaan itu baru saja mendapat pinaman 250 juta rupiah.
11. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi. Misalnya: Kantor kami memunyai dua puluh orang pegawai.
12. Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat. Misalnya: Saya lampirkan tanda uang sebesar Rp 999,75 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan dan tujuh puluh lima perseratus rupiah).

IV. PENULISAN UNSUR SERAPAN

IV. PENULISAN UNSUR SERAPAN

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris.
Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar.
Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock. Unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing.
Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan dengan bentuk asalnya.

V. PEMAKAIAN TANDA BACA

V. PEMAKAIAN TANDA BACA

A. Tanda Titik (.)
B. Tanda Koma (,)
C. Tanda Titik Koma (;)
D. Tanda Titik Dua (:)
E. Tanda Hubung (-)
F. Tanda Pisah (—)
G. Tanda Elipsis (…)
H. Tanda Tanya (?)
I. Tanda Seru (!)
J. Tanda Kurung ( (…) )
K. Tanda Kurung Siku ( […] )
L. Tanda Petik ( “…” )
M. Tanda Petik Tunggal ( ‘…’ )
N. Tanda Garis Miring (/)
O. Tanda Penyingkat atau Apostrof (‘)

karangan

Narasi

Pada narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam satu urutan waktu. Di dalam kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik. Ketiga unsur berupa kejadian, tokoh, dan konflik merupakan unsur pokok sebuah narasi. Jika ketiga unsur itu bersatu, ketiga unsur itu disebut plot atau alur. Jadi, narasi adalah cerita yang dipaparkan berdasarkan plot atau alur.

Narasi dapat berisi fakta atau fiksi. Narasi yang berisi fakta disebut narasi ekspositoris, sedangkan narasi yang berisi fiksi disebut narasi sugestif. Contoh narasi ekspositoris adalah biografi, autobiografi, atau kisah pengalaman. Sedangkan contoh narasi sugestif adalah novel, cerpen, cerbung, ataupun cergam.

Pola narasi secara sederhana berbentuk susunan dengan urutan awal – tengah – akhir.

  • Awal narasi biasanya berisi pengantar yaitu memperkenalkan suasana dan tokoh. Bagian awal harus dibuat menarik agar dapat mengikat pembaca.
  • Bagian tengah merupakan bagian yang memunculkan suatu konflik. Konflik lalu diarahkan menuju klimaks cerita. Setelah konfik timbul dan mencapai klimaks, secara berangsur-angsur cerita akan mereda.
  • Akhir cerita yang mereda ini memiliki cara pengungkapan bermacam-macam. Ada yang menceritakannya dengan panjang, ada yang singkat, ada pula yang berusaha menggantungkan akhir cerita dengan mempersilakan pembaca untuk menebaknya sendiri.

Langkah menyusun narasi (terutama yang berbentuk fiksi) cenderung dilakukan melalui proses kreatif, dimulai dengan mencari, menemukan, dan menggali ide. Oleh karena itu, cerita dirangkai dengan menggunakan "rumus" 5 W + 1 H, yang dapat disingkat menjadi adik simba.[rujukan?]

  1. (What) Apa yang akan diceritakan,
  2. (Where) Di mana seting/lokasi ceritanya,
  3. (When) Kapan peristiwa-peristiwa berlangsung,
  4. (Who) Siapa pelaku ceritanya,
  5. (Why) Mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, dan
  6. (How) Bagaimana cerita itu dipaparkan.

Contoh

Contoh narasi berisi fakta:

Ir. Soekarno

Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama adalah seorang nasionalis. Ia memimpin PNI pada tahun 1928. Soekarno menghabiskan waktunya di penjara dan di tempat pengasingan karena keberaniannya menentang penjajah.
Soekarno mengucapkan pidato tentang dasar-dasar Indonesia merdeka yang dinamakan Pancasila pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Soekarno bersama Mohammad Hatta sebagai wakil bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Ia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1948. Soekarno dikembalikan ke Yogya dan dipulihkan kedudukannya sebagai Presiden RI pada tahun 1949.
Jiwa kepemimpinan dan perjuangannya tidak pernah pupus. Soekarno bersama pemimpin-pemimpin negara lainnya menjadi juru bicara bagi negara-negara nonblok pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Hampir seluruh perjalanan hidupnya dihabiskan untuk berbakti dan berjuang.

Contoh narasi fiksi:

Aku tersenyum sambil mengayunkan langkah. Angin dingin yang menerpa, membuat tulang-tulang di sekujur tubuhku bergemeretak. Kumasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku jaket, mencoba memerangi rasa dingin yang terasa begitu menyiksa.
Wangi kayu cadar yang terbakar di perapian menyambutku ketika Eriza membukakan pintu. Wangi yang kelak akan kurindui ketika aku telah kembali ke tanah air. Tapi wajah ayu di hadapanku, akankah kurindui juga?
Ada yang berdegup keras di dalam dada, namun kuusahakan untuk menepiskannya. Jangan, Bowo, sergah hati kecilku, jangan biarkan hatimu terbagi. Ingatlah Ratri, dia tengah menunggu kepulanganmu dengan segenap cintanya.

Deskripsi

Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal/keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut.

Karangan deskripsi memiliki ciri-ciri seperti:

  • menggambarkan atau melukiskan sesuatu,
  • penggambaran tersebut dilakukan sejelas-jelasnya dengan melibatkan kesan indera,
  • membuat pembaca atau pendengar merasakan sendiri atau mengalami sendiri.

Pola pengembangan paragraf deskripsi:

  • Paragraf Deskripsi Spasial, paragraf ini menggambarkan objek kusus ruangan, benda atau tempat.
  • Paragraf Deskripsi Subjektif, paragraf ini menggambarkan objek seperti tafsiran atau kesan perasaan penulis.
  • Paragraf Deskripsi Objektif, paragraf ini menggambarkan objek dengan apa adanya atau sebenarnya.

Langkah menyusun deskripsi:

  1. Tentukan objek atau tema yang akan dideskripsikan
  2. Tentukan tujuan
  3. Mengumpulkan data dengan mengamati objek yang akan dideskripsikan
  4. Menyusun data tersebut ke dalam urutan yang baik (menyusun kerangka karangan)
  5. Menguraikan kerangka karangan menjadi dekripsi yang sesuai dengan tema yang ditentukan

Contoh

Contoh topik yang tepat untuk karangan deskripsi:

  • Keindahan Bukit Kintamani
  • Suasa pelaksanaan Promosi Kompetensi Siswa SMK Tingkat Nasional
  • Keadaan ruang praktik
  • Keadaan daerah yang dilanda bencana

Contoh deskripsi berupa fakta:

Hampir semua pelosok Mentawai indah. Di empat kecamatan masih terdapat hutan yang masih perawan. Hutan ini menyimpan ratusan jenis flora dan fauna. Hutan Mentawai juga menyimpan anggrek aneka jenis dan fauna yang hanya terdapat di Mentawai. Siamang kerdil, lutung Mentawai dan beruk Simakobu adalah contoh primata yang menarik untuk bahan penelitian dan objek wisata.

Contoh deskripsi berupa fiksi:

Salju tipis melapis rumput, putih berkilau diseling warna jingga; bayang matahari senja yang memantul. Angin awal musim dingin bertiup menggigilkan, mempermainkan daun-daun sisa musim gugur dan menderaikan bulu-bulu burung berwarna kuning kecoklatan yang sedang meloncat-loncat dari satu ranting ke ranting yang lain.

Eksposisi

Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau statistik. Sebagai catatan, tidak jarang eksposisi ditemukan hanya berisi uraian tentang langkah/cara/proses kerja. Eksposisi demikian lazim disebut paparan proses.

Langkah menyusun eksposisi:

  • Menentukan topik/tema
  • Menetapkan tujuan
  • Mengumpulkan data dari berbagai sumber
  • Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih
  • Mengembangkan kerangka menjadi karangan eksposisi.

Contoh

Contoh topik yang tepat untuk eksposisi:

  • Manfaat kegiatan ekstrakurikuler
  • Peranan majalah dinding di sekolah
  • Sekolah kejuruan sebagai penghasil tenaga terampil.

Contoh karangan eksposisi pada umumnya:

Pada dasarnya pekerjaan akuntan mencakup dua bidang pokok, yaitu akuntansi dan auditing. Dalam bidang akuntasi, pekerjan akuntan berupa pengolahan data untuk menghasilkan informasi keuangan, juga perencanaan sistem informasi akuntansi yang digunakan untuk menghasilkan informasi keuangan.
Dalam bidang auditing pekerjaan akuntan berupa pemeriksaan laporan keuangan secara objektif untuk menilai kewajaran informasi yang tercantum dalam laporan tersebut.

Contoh paparan proses yang juga merupakan bentuk eksposisi:

Cara mencangkok tanaman:

  1. Siapkan pisau, tali rafia, tanah yang subur, dan sabut secukupnya.
  2. Pilihlah ranting yang tegak, kekar, dan sehat dengan diameter kira-kira 1,5 sampai 2 cm.
  3. Kulit ranting yang akan dicangkok dikerat dan dikelupas sampai bersih kira-kira sepanjang 10 cm.

Argumentasi

Karangan ini bertujuan membuktikan kebenaran suatu pendapat/kesimpulan dengan data/fakta sebagai alasan/bukti. Dalam argumentasi pengarang mengharapkan pembenaran pendapatnya dari pembaca. Adanya unsur opini dan data, juga fakta atau alasan sebagai penyokong opini tersebut.

Langkah menyusun argumentasi:

  1. Menentukan topik/tema
  2. Menetapkan tujuan
  3. Mengumpulkan data dari berbagai sumber
  4. Menyusun kerangka karangan sesuai dengan topik yang dipilih
  5. Mengembangkan kerangka menjadi karangan argumentasi

Contoh

Contoh tema/topik yang tepat untuk argumentasi:

  • Disiplin kunci sukses berwirausaha,
  • Teknologi komunikasi harus segera dikuasai,
  • Sekolah Menengah Kejuruan sebagai aset bangsa yang potensial.

Contoh karangan argumentasi pada umumnya:

Jiwa kepahlawanan harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan karena dengan jiwa kepahlawanan. Pembangunan di negara kita dapat berjalan dengan sukses. Jiwa kepahlawanan akan berkembang menjadi nilai-nilai dan sifat kepribadian yang luhur, berjiwa besar, bertanggung jawab, berdedikasi, loyal, tangguh, dan cinta terhadap sesama. Semua sifat ini sangat dibutuhkan untuk mendukung pembangunan di berbagai bidang.

Persuasi

Karangan ini bertujuan mempengaruhi pembaca untuk berbuat sesuatu. Dalam persuasi pengarang mengharapkan adanya sikap motorik berupa perbuatan yang dilakukan oleh pembaca sesuai dengan yang dianjurkan penulis dalam karangannya.

Langkah menyusun persuasi:

  1. Menentukan topik/tema
  2. Merumuskan tujuan
  3. Mengumpulkan data dari berbagai sumber
  4. Menyusun kerangka karangan
  5. Mengembangkan kerangka karangan menjadi karangan persuasi

Contoh

Contoh tema/topik yang tepat untuk persuasi:

  • Katakan tidak pada NARKOBA,
  • Hemat energi demi generasi mendatang,
  • Hutan sahabat kita,
  • Hidup sehat tanpa rokok,
  • Membaca memperluas cakrawala.

Contoh karangan persuasi pada umumnya:

Salah satu penyakit yang perlu kita waspadai di musim hujan ini adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Untuk mencegah ISPA, kita perlu mengonsumsi makanan yang bergizi, minum vitamin dan antioksidan. Selain itu, kita perlu istirahat yang cukup, tidak merokok, dan rutin berolah raga.