Jumat, 25 Desember 2009

Pengaruh Iklan Wings

Grup Wings (GW) seharusnya tidak lagi malu-malu atau ngumpet di belakang layar. Kemenangannya lagi (yang spektakuler) menggerogoti pasar mi instan Indofood lewat Mie Sedaap saat ini, bukan kisah memalukan dan layak disembunyikan rapat-rapat. Ini justru kasus menarik untuk diikuti. Banyak kalangan -- terutama di kampus-kampus -- belakangan ramai mendiskusikannya. Bakalkah Wings menghajar raksasa makanan Indofood, setelah membuat kalang kabut raksasa toiletries Unilever? Mengapa Wings senang dan menikmati berhadapan dengan market leader? Mengapa Wings selalu masuk pasar yang sudah besar? Apa kiat sukses Wings? Bagaimana masa depan Wings? Dan sederet pertanyaan lainnya.

Debut Mie Sedaap yang melesat tinggi memang di luar perkiraan.. Belum setahun diluncurkan (April 2003), sudah berhasil mengambil 12% pangsa pasar Indofood. Jika total pasar mi instan Rp 8 triliun/tahun -- 90% di antaranya dikuasai Indofood -- berarti Wings telah menguasai Rp 864 miliar. Angka yang sangat fantastis untuk ukuran produk baru. ?Padahal kami hanya memanfaatkan pasar yang masih terbuka lebar. Tapi, kalau sambutan pasar bagus sekali, sayang tidak di-maintain,? kata Rudy Bonardy, Manajer Merchandise & Promosi GW.

Wings pasti tidak sekadar coba-coba dalam mengembangkan Mie Sedaap ini. Ia tentu sudah berpikir serius bagaimana merangsek ke industri makanan dan sekaligus menghadapi Indofood. Wings menyadari tidak mudah menembus benteng pertahanan Indofood yang citra produknya Indomie sudah sangat bagus. Makanya, untuk mendapatkan hasil maksimal, menurut Rudy, Wings membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk melakukan riset hingga menemukan formula rasa yang pas dan berbeda dari yang sudah ada. Begitu pula untuk menggodok konsep produk, program komunikasi dan pemasaran, menurut Bambang K. Kusumo Husodo, Pengarah Kreatif (Creative Director) Bintang Pratama yang banyak menangani iklan GW, memakan waktu hampir satu tahun. ?Mie Sedaap sengaja masuk pasar menengah-bawah, tapi menawarkan kualitas istimewa,? papar Bambang tentang Mie Sedaap yang dijual dengan harga murah, Rp 625-Rp 750 /bungkus.

Dengan strategi promosi yang agresif dan kampanye iklan provokatif -- yang menurut data Nielsen Media Research menghabiskan anggaran iklan sekitar Rp 56,17 miliar -- permintaan Mie Sedaap terus mengalir deras. Karena banyaknya permintaan, Wings sempat kewalahan hingga hanya bisa memenuhi 10% dari order pengecer dan toko. Namun, kondisi itu sudah diperbaiki. Selain kini sudah menambah mesin, Wings juga menambah kapasitas produksi di dua pabrik Gresik (Surabaya) dan Seroja (Bekasi). Dari segi produk pun, kini sudah disiapkan lima varian rasa baru yang siap diluncurkan ke pasar , melengkapi tiga varian rasa yang terdahulu. ?Tunggu saja, masih banyak gebrakan Wings di sektor makanan mi instan,? ujar Bambang.

Reaksi pesaing, Indofood, bisa diduga: kebakaran jenggot. Demi mempertahankan superioritasnya, ia bahkan nekat meluncurkan tiga fighting brand sekaligus: Mie Sayaaap, Sarimi dan SuperMi Sedaaap. Ketiganya diluncurkan dengan niat membenturkan diri dengan Mie Sedaap. Mie Sayaaap, misalnya, dibuat dengan nama yang kedengarannya sangat mirip. Lalu muncul Sarimi yang ditambah ekstra bawang goreng mirip Mie Sedaap yang juga menjual keunggulan bawang goreng. Terakhir, lahir SuperMi untuk memperkuat pasukan penggempur Mie Sedaap. Kemasan SuperMi ini dipermak habis hingga menyerupai kemasan Mie Sedaap. Di bawah tulisan SuperMi kemasan baru, dipasang kata ?Sedaaap? yang bentuk font-nya persis Mie Sedaap.

Akhirnya, pertarungan frontal tak bisa dihindari lagi. Meskipun E. William Katuari dan Freddy I Katuari, CEO GW mengatakan kepada SWA, tidak ingin saling menggigit dan lebih suka dengan sharing pertumbuhan, reaksi Indofood tidak bisa dicegah. ?Sejak awal kami tidak bermaksud menggoyang pasar,? William menegaskan. Alasannya, bila terlalu menggoyang pasar, akan timbul reaksi dan mengakibatkan kolaps. ?Lebih enak masuk pasar dengan smooth,? ungkap William mengenai strateginya.

Prinsip bergerak mulus dan hati-hati ini memang selalu diterapkan Wings dalam menggarap pasar consumer goods di Indonesia. Lihat saja, Wings tidak pernah bersikap frontal terhadap pemimpin pasar. Bahkan untuk menghindari perang frontal, ia tidak pernah menempatkan produknya sebagai pemimpin pasar. ?Tidak ada satu pun produknya yang menunjukkan diri sebagai produk perintis,? ungkap Simon Jonathan, CEO Brandmaker. Wings, menurut Simon, hanya mengikuti dan memproduksi produk yang sudah ada di pasar. Meskipun umumnya perusahaan ingin produknya dianggap sebagai inovator yang first in the mind dan first in the market, Wings berbeda. Ia justru merasa nyaman dan aman jika mengekor apa yang sudah ada di pasar.

Bagi Wings, pilihan itu sangat menguntungkan. Ia bisa aman dan bergerak bebas tanpa khawatir mendapat sorotan dan perhatian pesaing. Makanya, kebanyakan pesaing Wings selalu terlambat menyadari kehadirannya. Rinso (Unilever) mulai tergagap-gagap ketika So Klin sudah merajalela dengan membagi hadiah piring dan gelas. Begitu pula Surf (Unilever) yang ketinggalan kereta dari Daia. Molto juga baru terbangun dari tidur nyenyaknya, setelah So Klin Pewangi sudah ke mana-mana dengan Agnes Monicanya.

Namun di pihak lain, cara diam-diam itu bisa berdampak negatif. Wings lalu dipersepsikan sebagai produk me too. Produknya dianggap ikut-ikutan Malah, ada kesan, Wings memang memilih menjadi follower. Ia tidak takut dipersepsikan sebagai perusahaan me too. Simon menilai, hal itu karena Wings sadar dan rasional menjadi perusahaan me too.

Baik William maupun Freddy mengelak jika produk-produknya tergolong me too. ?Lho, mana bisa? Kami tidak pernah bikin produk tanpa plus,? tukas William. Menurutnya, Wings selalu memberi unsur baru. Sumber SWA yang bekerja di bagian intelijen pemasaran membenarkan pernyataan William. Menurutnya, Wings memang selalu menambahkan unsur atau komposisi tambahan baru, tapi hal itu berangkat dari formulai yang sama. ?Bolehlah disebut better me too,? katanya sambil tertawa.

Sumber SWA ini mengatakan, proses peniruan yang dilakukan Wings tergolong hebat, yakni melalui proses scanning. Biasanya, seluruh produk yang ada di pasar sudah di scan. Bahkan, untuk produk-produk baru yang masih terdaftar di Deperindag pun Wings sudah punya bahan dan formulanya. ?Mereka mirip CIA,? katanya sambil tertawa. Dari hasil scanning itu, Wings mempersiapkan formula tambahan yang digunakan untuk daya saing membedakan. Contohnya, Smile Up (Lionindo) vs. Close Up (Unilever). Untuk membedakan dari pesaing, Smile Up menambahkan zat pemutih dan antibakteri yang belum dipakai Unilever.

Apa pun caranya, menurut Darmadi Durianto, pengamat pemasaran yang juga pengajar di IBII menilai sebagai keunggulan kompetensi Wings. Ia menganggap, strategi imitasi sah-sah saja, toh Wings selalu menambahkan diferensiasi pada produk. ?Cara Wings ini kombinasi antara me too marketing dengan creative marketing strategy,? ungkapnya.

Bambang dari Bintang Pratama, bisa memahami pandangan orang tentang kliennya yang dipersersepsi sebagai pengikut dan menghasilkan produk-produk me too. Menurutnya, anggapan itu, bisa ya dan bisa tidak. Iya, karena memang sebagian besar produk yang ada di tengah pasar mirip dengan produk yang sudah ada dan memimpin lebih dahulu di pasar. Namun, bisa juga dikatakan tidak karena produk-produk Wings terbukti mempunyai keunggulan lain yang tidak dimiliki pesaing. Produk-produk ini terbukti mampu bicara di pasar, bahkan tidak jarang Wings memelopori kehadiran produk baru lebih dulu.

Misalnya, ketika ibu rumah tangga mulai gelisah karena harga detergen terus membubung tinggi, dari semula cuma Rp 2.500 / kg bergerak naik menjadi Rp 10.000/kg di masa krisis pertengahan 1998, Wings datang mengeluarkan detergen baru Daia dengan harga Rp 7.000/kg. Kontan saja, para ibu yang pada waktu itu benar-benar tercekik oleh lonjakan harga kebutuhan pokok yang meroket tanpa kendali, menyambut gembira. Daia diserbu pembeli. Dalam hitungan bulan, Daia langsung meninggalkan Rinso (Unilever) ataupun saudara tuanya, So Klin hingga hasil audit ritel SRI ACNielsen menunjukkan, Daia meraih 30% pangsa pasar, sementara Rinso dan So Klin masing-masing cuma 20% .

Tidak seperti sangkaan orang cuma bisa meniru, di sini Wings justru memelopori lahirnya detergen murah. Wings bereaksi cerdik tatkala melihat Rinso ataupun So Klin meninggalkan pasar kisaran harga Rp 7.000-an, sementara produk menengah semacam Surf pun belum ada. Dari hasil memelototi pasar, Wings melihat daya beli masyarakat merosot, sehingga perlu detergen murah. ?Ada peluang pasar yang ditinggalkan dua merek itu,? ungkap Bambang yang mengikuti kelahiran Daia. Karena keputusannya berlangsung cepat, persiapan pembuatan iklan dan promosinya pun cukup mendadak. ?Kami cuma diberi waktu satu bulan mulai produksi hingga iklan ditayangkan,? lanjut Bambang yang menganggap iklan Daia sangat mengesankan. ?Ada faktor emosional yang terlibat di dalamnya,? ungkap Bambang yang bangga menciptakan slogan citra (tag line): Pakai Daia, lupakan yang lain -- yang menggigit.

Iklan?iklan GW yang sebagian besar (75%) diserahkan ke biro iklan DM Pratama, sisanya ke FCB untuk produk?produk aliansi dengan Lion Corporations, seperti Ciptadent, Smile Up, Kodomo, serta Matari Advertising untuk iklan Fresh dan So Klin Pembersih Lantai, memegang peran kunci dalam pengembangan produk. Dikatakan Simon, gaya iklan Wings selalu bicara mengacu langsung pada produknya dan memacu orang dengan cepat membeli produk itu. Dengan frekuensi tayang di media elektronik, baik teve maupun radio serta billboard yang sangat tinggi, memancing orang suka atau tidak suka pada produk itu akhirnya memutuskan membeli. ?Promosi yang gencar itu menimbulkan efek psikologis bagi konsumen bersikap impuls buying,? papar Simon.

Bambang mengakui, tipikal beriklan GW memang ingin produknya dapat diminati, dicoba, dibeli dan bahkan diloyali. Pertimbangannya, agar dapat tampil beda dari pesaing utama. Selain itu, ia menyadari, sudah ada produk pemimpin yang memiliki citra kuat di pasar. ?Kalau kami ikut-ikutan membangun citra, konsumen akan sulit mengingatnya,? demikian alasannya.

Dengan objektif komunikasi seperti itu, menurut Bambang, hasilnya memang bukan iklan yang bisa memberikan penghargaan Citra Pariwara. Karakter iklan-iklannya cenderung lugas dan komunikatif. ?Seperti keinginan klien (GW), mereka menghendaki iklan yang mudah dikenal dan dimengerti konsumen,? kata Bambang yang sering berhubungan dengan F. Henry Katuari, Direktur PT Sayap Mas Utama yang bertanggung jawab di bidang promosi dan pemasaran.

Di mata Bambang, Henry memiliki insting tajam dalam membaca dan memprediksi kondisi pasar. Ia bisa tahu (biasanya tepat), jika sebuah produk dan iklan akan direspons positif atau sebaliknya oleh pasar. Kerja sama ini semakin enak karena Henry bekerja cepat dan tidak menyukai formalitas. Banyak keputusan penting yang segera dituntaskan, termasuk dalam eksekusi iklan. Seperti ketika meluncurkan So Klin MB, hanya membutuhkan waktu 10 menit dari ide pembuatan iklan hingga akhirnya disetujui. ?Beliau cuma bilang, tolong buatin iklan So Klin yang saya jual dengan harga Rp 500. Cari model iklan yang lucu dan spontan,? kata Bambang menirukan. Dari permintaan lisan itu, diterjemahkan dalam So Klin MB yang berarti: Mutunya Bagus, Murah Barangnya, Mencuci Bersih, dan Mencuci Banyak, dengan menggunakan bintang iklan Omas (komedian). ?Pak Henry langsung setuju dengan usulan kami,? Bambang teringat Pak Henry sejak awal yakin produk itu akan sukses. ?Eh, ternyata benar juga dugaannya,? lanjut Bambang.

Kecepatan membuat keputusan menjadi kekuatan GW yang sulit ditandingi. Institusi besar ini, dalam pandangan Liza Felicia Wulandari, Direktur The Advisory, memiliki sistem organisasi dan pola kerja yang sangat fleksibel, sehingga memungkinkan mengambil keputusan-keputusan penting dalam waktu singkat.

Sistem organisasi yang fleksibel ini sulit dijumpai di perusahaan multinasional Unilever atau perusahaan nasional Indofood, sekalipun. Pasalnya, sistem ini cenderung mengingkari struktur organisasi vertikal, dan menghilangkan jenjang birokrasi yang cenderung berbelit-belit. Pada Wings, setiap posisi direktur, memiliki kewenangan yang sama untuk membuat keputusan penting menyangkut operasional perusahaan sehari-hari. Sementara itu, para board of director yang terdiri atas keluarga dan beberapa profesional -- jumlahnya diperkirakan 12 orang -- lebih berurusan dengan keputusan strategis jangka panjang. ? Tidak ada one man show. Setiap keputusan hasil dari teamwork,? sanggah William, bahwa tidak ada dominasi di tubuh GW.

Selain fleksibel, organisasi perusahaan Wings juga sederhana. Simon melihat, dengan penampilan yang sederhana itu dapat mengefisienkan biaya produksi sehingga dapat menjual dengan harga murah -- isu sangat menarik pada Wings. Secara umum, Wings memang tidak pernah meluncurkan produk-produk premium dengan harga premium. Ia selalu memasang harga di bawah pemimpin pasar . Apalagi produk Wings menyasar pasar menengah-bawah, sehingga harga yang ditawarkan pun cenderung murah.

Simon mengatakan, strategi harga Wings ini jitu karena ia masuk ke target pasar ibu rumah tangga yang sangat memperhatikan harga jual produk. ?Buat apa beli barang mahal harganya, jika ada barang kualitas hampir sama dijual dengan harga murah,? demikian sering diungkapkan ibu-ibu. Dalam hal ini, Wings jitu memosisikan produk dan harga untuk target sasarannya. Di lain pihak, Darmadi melihat, strategi ini merupakan cara cerdik Wings guna memberikan value lebih besar kepada konsumen. Wings masuk dengan harga lebih murah dari pemimpin pasar, tetapi sengaja mempersepsikan sama ? bahkan lebih ? kualitasnya dari pemimpin pasar. ?Dengan begitu, perceived value Wings sangat tinggi,? paparnya. Liza menambahkan, Wings tahu persis bagaimana memanfaatkan komposisi biaya yang diwujudkan dalam bentuk harga. ?Jadi, ia memiliki kemampuan dalam menerapkan pricing policy, sehingga harga produknya bisa terjangkau masyarakat,? tutur Liza.

Ada asumsi lain, karena Wings menguasai bahan baku dan bahan setengah jadi untuk bahan dasar sabun dan detergen, sehingga ia bisa menawarkan harga lebih murah. ?GW main di spread margin. Karena beban produknya rendah, otomatis marginnya bisa lebih tinggi,? ungkap sumber SWA. Malah, menurutnya, Wings menancapkan komitmen: produk-produknya harus yang termurah.

William menyangkal jika dukungan industri hulu menjadikan harga jual produknya murah. Menurutnya, antara industri hulu dengan harga jual tidak saling berhubungan. Masing-masing unit usaha memiliki aturan main sendiri, termasuk dalam penjualan produk dan mencari profit sendiri. Tidak mungkin terjadi komitmen khusus, karena tidak akan membuat perusahaan itu kompetitif. Selain itu, William melihat, monopoli akan membuat perusahaan tidak efisien. ?Kalau ada keyakinan, toh produknya pasti dibeli, ah itu kan mati,? ia menandaskan.

Soal harga murah, William menegaskan, pasti Wings tidak menjual rugi. ?Yang penting kami bisa survive, menjual produk lebih baik dengan harga yang terjangkau,? ujar William, dan menurut dia, dalam perkembangannya, sebenarnya harga jual produk Wings hampir sama dengan pesaing utama. Bahkan, tidak jarang harga per bungkusnya bisa lebih mahal. Namun, jika dihitung dari per wash?nya, William meyakini, pasti lebih murah. ?Sayangnya hal itu tidak dipahami banyak orang,? katanya.

Freddy melihat kecenderungan konsumen sekarang sangat kritis. Mereka selain menghendaki harga murah, juga menuntut kualitas baik. Hal ini, menurutnya, membuat Wings harus hati-hati menyikapi keinginan mereka. Wings harus dapat membaca tren yang berkembang di pasar dan mampu membaca dinamika yang terjadi di sana. Sebab, bagi Wings, konsumen adalah segala-galanya. Prinsip ini disampaikan William. Menurutnya, apa yang dicapai Wings saat ini karena tiga hal. Pertama, karena Wings tahu apa yang dikehendaki konsumen. Untuk bisa tahu, William mengaku, harus turun ke lapangan. Meskipun sudah mencapai posisi seperti sekarang, ia tidak segan-segan turun ke kali untuk melihat kebiasaan mandi dan mencuci masyarakat . ?Itu sikap paling penting yang harus dimiliki Wings,? ujarnya.

Kedua, Wings harus tahu bagaimana memenuhi kehendak konsumen. Caranya, harus ada pengembangan produk yang kuat dan inovasi produk. Ketiga, Wings harus paham teknologi. Yang dimaksudkan, teknologi baru yang berkembang di dunia toiletries ataupun aplikasinya. Contohnya, di luar negeri banyak detergen dicampur dengan bleach, sedangkan di Indonesia bleach selalu dipisah karena bisa rusak. Sudah lebih dari 6 tahun ini William melakukan riset bagaimana menstabilkan bleach agar tidak rusak. ?Tapi sampai sekarang belum ketemu caranya,? ujarnya terus terang.

Teknologi lain yang dikuasai Wings dan menjadi kekuatannya, menurut sumber SWA, teknologi parfum yang disertakan dalam sabun ataupun detergen. Pasalnya, Wings memiliki pakar parfum, Fifi Sutanto yang secara khusus belajar mengenai parfum di Prancis. Sumber SWA mengatakan, keandalan Fifi dalam memberikan aroma produk Wings sudah teruji, karena hasil survei pasar mengatakan bahwa aroma produk Wings jauh lebih disukai ketimbang produk sejenis lainnya .

Teknologi ini bisa pula termasuk teknologi distribusi. Harus diakui, sistem distribusi telah berkembang dahsyat yang mengakibatkan perubahan lanskap pasar dan pemetaaannya. Menghadapi situasi demikian, Wings tampak sangat hati-hati menyikapi. Go Siang Chen, Direktur Integrity Consulting, Surabaya, mengatakan, bahkan Wings menjadikan distribusi sebagai faktor yang bisa mengurangi harga jual. Keunggulan distribusi Wings bisa memendekkan jalur distribusi . Mata rantai distribusi Wings berjalan melalui inti (depo), diteruskan ke titik wholesaler-reatiler dan berakhir di retailer-wholesaler.

Kresnayana Yahya, Direktur Enciety, Surabaya menambahkan, dalam distribusi, Wings bisa menerobos dan eksis di pasar-pasar becek. Melalui depo-depo yang ada di hampir semua kabupaten di Pulau Jawa, titik-titik distribusi ini ditangani para pengecer lokal yang sudah memiliki ikatan emosional dengan pemiliknya. Sehingga, mereka sulit ditembus oleh produsen lain, meskipun diiming-imingi bonus ataupun hadiah.

Ciri khas perusahaan lawas yang sudah eksis puluhan tahun memang demikian. Biasanya mereka sudah bermitra puluhan tahun dengan para pengecer dan pedagang. Kesetiaan dan loyalitasnya sudah teruji dengan baik, sehingga hal ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Wings. Praktisi distribusi perusahaan besar yang enggan disebutkan namanya mengakui, model distribusi Wings yang mampu menyentuh berbagai lapisan pedagang, merupakan kenyataan yang luar biasa dan penting. ?Tidak mudah untuk bisa menyentuh segala lapisan pedagang. Model distribusi Wings sangat merata dan intensif,? pujinya berkali-kali.

Namun, sumber SWA ini juga tidak bisa memungkiri, kesuksesan distribusi Wings, antara lain juga berkat iklan-iklannya yang merakyat dan gencar. Bagaimanapun harus diakui, jika iklan-iklan itu terus mencecar para konsumen, maka demand dengan sendirinya datang. Dengan jaringan distributor yang otomatis terbentuk dengan baik , pada akhirnya kekuatan bisa dipastikan sangat merata dan merakyat. ?Kedua strategi ini diintegrasikan sangat baik oleh Wings,? paparnya.

Iklan-iklan Wings, harus diakui, benar-benar royal. Nielsen Media Research mencatat sepanjang 2003 , setiap produk Wings, setidaknya menghabiskan anggaran belanja iklan di atas Rp 14 miliar. Daia, misalnya, membakar belanja iklan hingga Rp 58,39 miliar (2003) dan Rp 4, 6 miliar untuk dua bulan terakhir ini. Begitu pula detergen So Klin (lima varian) menghabiskan anggaran iklan Rp 124,7 miliar sepanjang 2003. Adapun So Klin Pewangi, membutuhkan biaya iklan Rp 34,14 miliar di 2003. ? Wah, kami tidak bisa komentar tentang hal ini,? kata Bambang mengenai banjir iklan di Wings. Sebuah sumber mengatakan, billing iklan DM Pratama tahun 2003 untuk produk-produk Wings mencapai lebih dari Rp 250 miliar. ?Maaf, saya tidak bisa berkomentar,? jawab Bambang ketika didesak lagi.

Yang menarik, karakter iklan?iklan Wings sangat berciri khas. Simon memastikan, iklan-iklan Wings tidak ada yang mengandalkan citra hingga menimbulkan prestise tersendiri. Gaya iklan Wings, menurut Simon, bicara benar mengacu langsung pada produk dibuat untuk siapa. Bambang tidak menyangkal pendapat itu. Menurutnya, dengan memiliki ciri khas, sudah cukup bagi Wings berkomunikasi. ?Berarti kami sudah mempunyai posisi komunikasi tersendiri di tengah pasar,? ujarnya ?Yang penting, iklan kami langsung ke sasaran target pasar untuk memakai produk kami,? lanjut Bambang. Pendekatan ini, menurutnya, berbeda dari Unilever yang sebagian besar cenderung membangun citra kuat. ?Wajarlah, produk Unilever sudah pemimpin di pasar,? komentar Bambang menunjukkan objektif komunikasi Unilever dengan GW memang berbeda.

Unilever memang berbeda dari Wings, tapi menurut Liza, strategi portofolio merek Wings tidak kalah yahud dari perusahaan multinasional ini. Dalam hal merek, Liza melihat strategi yang dikembangkan Wings jeli dan berani. Ketika suatu produk dengan merek barunya akan diluncurkan, Wings berani jorjoran secara terus-menerus melakukan brand awareness lewat iklan. Di sisi lain, ketika ekuitas mereknya dianggap sudah kuat, ia berani mengekstensifikasi merek. ?Itu terlihat pada So Klin yang terus dikembangkan sedemikian luas,? papar Liza. Strategi portofolio merek ini, menurut Liza, pada muaranya akan memberikan efisisensi dari segi biaya.

Wings tahu persis kekuatan iklan. Bahwa dengan beriklan gencar, ia akan memiliki kekuatan dan daya tarik produknya terhadap masyarakat. ?Dalam hal ini Wings sangat berani mengelola portofolio mereknya,? Liza menandaskan.

Dengan keunggulan yang dimiliki serta jurus pemasaran yang dikembangkan, tentunya Wings tidak boleh lengah. Hermawan Kartajaya menyarankan, Wings harus terus konsisten dengan apa yang telah dilakukannya. Sebagai produk challenger, ia harus tetap mempertahankan semangat dan antusiame untuk menghadapi merek-merek besar. Spirit ini, sangat dibutuhkan untuk memompa lahirnya penantang baru di dunia usaha.

Namun, satu hal yang harus diwaspadai dari sekarang adalah sumber daya untuk mendukung seluruh kegiatan itu. ?Mau tak mau, Wings membutuhklan strategic effort, bukan fisical effort, agar bisa masuk dan bersaing di tingkat yang lebih atas lagi,? Liza menyarankan.

URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/tren/details.php?cid=1&id=66 



Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Konsumsi Minuman Ringan

Kegiatan konsumsi merupakan kegiatan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan tersebut, ada beberapa faktor yang memengaruhi seorang konsumen dalam melakukan kegiatannya, baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Salah satu faktor yang berkembang dari luar yaitu, lingkungan mikro (micro environment) dan lingkungan makro (macro environment). Lingkungan mikro terdiri dari faktor supplier, faktor perusahaan (company), faktor pesaing (competitors), faktor masyarakat (publics), faktor pelanggan (customers) dan perantara (intermediaries). Sedangkan lingkungan makro terdiri atas faktor demografis, faktor alam, faktor teknologi, faktor politik, faktor budaya, dan faktor ekonomi.

 

 Seorang pemasar perlu mengetahui populasi serta menyadari ukuran dan rata-rata pertumbuhan populasi pasar, usia distribusi, percampuran etnis, tingkat pendidikan dan faktor kunci lainnya. Salah satu contoh adalah trend demografis yang sedang berkembang di Amerika Serikat, salah satunya adalah penuaan populasi atau “the graying of America,” peningkatan keberagaman etnis dan rasial pasar konsumen, serta perubahan alami konsumsi rumah tangga. Trend ini membutuhkan para pemasar yang mampu menyesuaikan barang dan jasa mereka terhadap perbedaan segmen populasi. Di Amerika Serikat, kelompok usia lebih dari 50 tahun merupakan segmen yang paling cepat berkembang. Biro Sensus Amerika Serikat memprediksi kelompok usia 50 tahun keatas akan melebihi 96 juta orang pada tahun 2010. Kelompok tersebut akan membutuhkan perawatan kesehatan yang lebih dibanding kelompok usia dibawah mereka serta produk pharmaceutical, dan mereka juga cenderung membeli kendaraan mewah serta menghabiskan biaya liburan yang lebih mahal dibanding kelompok usia lainnya. Itu disebabkan kelompok tersebut menguasai 70 persen dari kekayaan bersih di Amerika Serikat.

 

Selanjutnya akan dibahas bagaimana faktor tersebut memengaruhi konsumsi minuman ringan. Minuman ringan merupakan salah satu produk yang mudah ditemui dimana saja dan dikonsumsi oleh jutaan orang setiap harinya didunia, disegala lapisan masyarakat. Salah satu survey* yang pernah dilakukan antara lain oleh sebuah lembaga independen (LPEM Universitas Indonesia) dan sebuah perusahaan riset pemasaran DEKA yang menunjukkan bahwa :

Pada tahun 1999, 85% dari konsumen bulanan minuman ringan mempunyai pendapatan rumah tangga rata-rata di bawah Rp 1 juta (US$ 100) per bulan. 46% diantara mereka berpenghasilan kurang dari Rp 500.000 (US$50).

72% konsumen mingguan mempunyai penghasilan rata-rata kurang dari Rp 1 juta perbulan lebih dari 40 % diantara mereka adalah pelajar karyawan paruh waktu dan para pensiunan.

Diantara konsumen mingguan, minuman ringan dikonsumsi sama seringnya dengan minuman sirup dan makanan ringan, dan jauh lebih sering dikonsumsi dibandingkan dengan es krim.

 

* sumber : Coca Cola Bottling Website

 

Survey diatas menunjukan bahwa kecenderungan masyarakat akan minuman ringan terus meningkat. Faktor yang memengaruhi peningkatan konsumsi tersebut salah satunya adalah faktor demografis. Variabel yang memengaruhi faktor demografis terhadap konsumsi minuman ringan antara lain, usia, jenis kelamin, pendapatan, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, faktor religius, ras dan kebangsaan.

 

Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang selalu meningkat setiap tahun, maka dalam sepuluh tahun mendatang diprediksi keadaan konsumsi minuman ringan pun akan terus meningkat. Saat ini, pendapatan perkapita penduduk Indonesia sebesar US$2.030 pertahun (data IMF, September 2009) dan bandingkan keadaan konsumsi minuman ringan 10 tahun yang lalu berdasarkan survey diatas dengan pendapatan perkapita rumah tangga sebesar US$1.200 pertahun mempunyai aktivitas konsumsi bulanan sebesar 85%. Mungkin bila dilihat dari segi peningkatan produksi minuman ringan akan terus meningkat yang diakibatkan oleh meningkatnya pendapatan perkapita penduduk, populasi yang semakin bertambah, serta sistem distribusi minuman ringan yang dapat ditemui dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. Tetapi mungkin tidak dari segi persentase peningkatan produksi, karena beberapa jenis minuman ringan mempunyai komposisi yang bisa membahayakan bila dikonsumsi dalam jangka panjang.

 Dibawah ini, saya coba menyajikan analisis SWOT terhadap permasalahan diatas.Internal          Strengths          Weaknesses

-       Konsumsi minuman ringan oleh semua lapisan masyarakat-       Minuman ringan mudah didapatkan

 

 -       Budaya mengkonsumsi minuman ringan     -       Semakin banyak konsumen yang peduli akan kesehatan oleh efek konsumsi minuman ringan dalam jangka panjang

Eksternal          Opportunities    Threats

-      Pendapatan masyarakat yang semakin meningkat-       Populasi yang semakin bertambah    -       Semakin banyak perusahaan minuman ringan dengan berbagai macam brand

  Sekian. 

 Sumber Referensi : 

Marketing (Third Edition), Richard L. Sandhusen

The Concept of Modern Marketing, American Management Association

Sosiologi Konsumsi, Edi Siswoyo & Manasse Malo